cara mudah cari uang

Klik dibawah ini cara mudah mendapatkan uang dengan internet... GRATIS !

Minggu, 13 September 2009

tali kutang yang terabaikan

Tali Kutang yang Terabaikan

Sep 7th, 2009 | By Blontank Poer |
courtesy : www.blontankpoer.com

Drama atau teater, entah kenapa masih menjadi cabang seni seni pertunjukan yang menurut saya masih memperhatikan detil, baik artistik, properti maupun pemeran (aktor). Setidaknya, begitulah yang saya rasakan ketika menyaksikan beberapa pertunjukan tari di Jakarta dan Solo dalam beberapa tahun terakhir.

Di Solo, misalnya, masih sering kita jumpai beberapa koreografer yang lengah dalam hal detil, yang biasanya mudah kita temukan pada kostum atau performa penari.

Pernah, pada malam usai general rehearsal, saya ditanya seorang koreografer. Intinya, dia minta pendapat mengenai impresi saya terhadap persiapan pertunjukan untuk keesokan malamnya. Karena tak paham dan tak mau masuk ke proses sebuah penciptaan, saya hanya menanyakan dua hal.

Pertama, saya bertanya soal warna tali kutang. Yang berikutnya mengenai perhiasan berupa cincin dan kalung yang dikenakan penari. Ada satu penari yang mengenakan tali kutang berwarna gelap, sementara kira-kira enam penari perempuan lainnya mengenakan tali kutang berwana putih, sebagian malah berbahan plastik bening.

“Apakah warna gelap tali kutang itu disengaja, mungkin si penari itu mendapat peran khusus dalam jalinan sebuah koreografi?” tanya saya. “Cincin dan kalung yang dikenakan beberapa penari, apakah itu juga menjadi bagian dari konsep artistik atas cerita yang hendak dibangun?”

Si koreografer menggeleng. Ia mengakui hal itu sebagai sesuatu yang terlewat, tak ada unsur kesengajaan. Apalagi dimaksudkan untuk mendukung atau memperkuat sebuah pesan atau gagasan yang hendak disodorkan kepada penonton sebagai lawan dialognya.

Sebagai tukang foto, saya mudah terganggu dengan kejanggalan di atas panggung, yang mungkin oleh orang lain atau bahkan koreografernya sendiri dimasukkan pada kategori ‘bisa diabaikan’. Sementara lewat lensa (mata atau kamera), pantulan cahaya sebuah lampu panggung bisa datang dari cincin, kalung atau tali kutang berbahan plastik yang bening.

Detil lain yang kerap ‘diabaikan’ adalah tata rambut. Pada teater, panjang-pendek rambut, model sisiran, perlu dibalur jelly atau tidaknya, sangat berpengaruh karena seorang actor/aktris memerankan sebuah karakter. Belum lagi kostum, model pakaian, hingga aksesori yang dikenakan, semua menjadi sesuatu yang tak bisa dilewatkan begitu saja.

Contoh dengan kontras paling kentara adalah make up dan desain kostum sinetron-sinetron kita dengan film-film layar lebar, terutama besutan sutradara-sutradara tertentu. Pada sinetron, kita sangat mudah menemukan penampilan pengemis, namun mengenakan pakaian yang masih tampak baru dibeli. Pada karya-karya film layar lebar, kostum dan properti akan selalu nyambung, kontekstual. Maka tak aneh, riset menjadi keharusan dalam satu kesatuan perencanaan produksi.

Yang masih saya rasakan hingga kini, masih banyak koreografer yang abai pada soal-soal ‘remeh’ demikian. Contohnya, ada satu-dua penari –kebetulan keduanya laki-laki, yang penampilannya tak pernah berbeda, baik dalam keseharian maupun di atas panggung. Yang satu selalu mengenakan kalung berbahan kulit, satu lagi mengenakan anting-anting besar. Keduanya mencolok secara visual.

Kebetulan, keduanya kerap tampil dalam sejumlah karya beberapa koreografer. Tata rambut dan penampilannya nyaris sama, baik selagi nongkrong maupun ketika berada di atas panggung. Satu-satunya yang membedakan, sepertinya hanya terletak pada kostum yang dikenakan.

Kalau sudah begitu, maka pertanyaan yang mesti dijawab hanyalah soal definisi kata profesional. Rasanya, jawabannya tak jauh berbeda, baik penari maupun koreografer. By. Blontankpoer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar anda.